Hari ke 4 berpuasa, tantangan meredam emosi saya sudah dimulai sejak pagi buta. Kebetulan cuaca baru saja selesai hujan, dan sudah pasti kondisi jalanan penuh dengan genangan air. Saya tekankan kembali : Genangan air, bukan genangan masa lalu. #eh.

Perjuangan Saya berangkat menuju tempat kerja yang ada dipusat kota itu harus menggunakan 2 moda transportasi umum yang paling merakyat. Pertama Angkot. Yang kedua dengan KRL Jabodetabek. Iya, kendaraan yang kalo lagi penuh-penuhnya itu udah kayak perang sparta. Jiwa dan ragamu dipertaruhkan disana.

Tapi bukan itu yang membuat emosi saya terpancing pagi ini. Emosi saya justru terpancing pada hal sepele, dialog antara saya dengan abang angkot.

Perlu diketahui, angkot yang saya naiki, harusnya berakhir di sebuah terminal dengan akses jembatan ‘agak’ panjang menuju stasiun. Tapi meskipun kata orang-orang rutenya panjang, buat saya rutenya sangat nyaman untuk pejalan kaki, karena kalau diperhatikan, selain tempatnya bebas becek, bersih, eskalatornya hidup, juga terdapat banyak petugas yang memantau sepanjang jalur sehingga ada perasaan aman, setiap kali melintas di jembatan tersebut.

Buat orang yang memiliki kaki dan berfungsi dengan baik, diberi fasilitas seperti itu oleh pemerintah sungguh masuk kedalam kategori “nikmat Tuhan mana yang kau dustakan? “

Sayangnya driver angkot yang saya naiki ternyata tidak memahami kenyamanan yang ditawarkan itu, dan memilih untuk menurunkan penumpang jauh sebelum area terminal, sehingga para penumpang yang malas berjalan jauh-tapi-demen-sama-jalanan-rusak-dan-becek sangat pro sekali dengan driver angkot model begini.

Tapi…. bukan saya namanya klo tidak berani mengutarakan kegelisahan hati, terutama ketika sedang gak mager. Bibir saya yang klo difungsikan mengeluarkan bunyi-bunyi yang agak cempreng ini akhirnya bekerja.

” Ini lanjut Ke terminal ga pak? ” Tanya saya penuh harap.

” Enggak neng, kenapa? Enak turun disini, gausah jalan jauh ke peron kereta” Jawab Pak Supir yang merasa ‘cerdas’ karena ‘sangat memahami perasaan orang’ tanpa memikirkan, betapa pemerintah sudah bersusah payah menggelontorkan dana milyaran untuk membuat fasilitas bernama terminal, dan jembatan penghubung, yang bersih dan nyaman untuk rakyatnya.

” Nggak ah pak, jalanannya rusak dan becek, banyak genangan air kotornya, enakan turun di terminal, lebih tertib juga..” jawab saya yang mulai diperhatikan para penumpang lain yang sedang antre membayar angkot.

” Itu orang-orang lain gapapa tuh Neng..” sahut abang supir, masih cuek karena sibuk menerima uang dari penumpang. Seolah-olah pilihan saya untuk turun di terminal sebagaimana mestinya adalah pilihan yang ‘apa-apa’

(((Orang-orang lain gapapa tuh Neng)))

Gema suara pak supir menggema ditelinga saya. Rasanya Saya ingin sekali mendebat supir angkot ini. Tapi teringat kembali kalau ini bulan Ramadhan.

(((Orang-orang lain gapapa tuh Neng)))

Saya memandang kepala supir angkot itu dari belakang, kepalanya sudah beruban, mungkin dia tidak berpikir seperti saya, yang sudah siap mengeluarkan banyak kata-kata untuk menjelaskan dan mengomel.

Mungkin yang supir ini pikirkan hanyalah mencari uang, membawa angkot sebisanya, yang penting ada penumpang.

Soal penumpangnya nyaman atau tidak dengan caranya menyetir, dengan bagaimana cara ia menurunkan penumpang, itu adalah prioritas kesekian.

Saya menarik nafas dalam-dalam.

Lalu turun dan membayar angkot seperti orang-orang lain. Tidak perlu membuang waktu saya untuk orang-orang yang bahkan tidak punya waktu untuk menikmati hidupnya. Mari berbelas kasih, kasihanilah mereka.

Kekesalan saya sedikit berkurang ketika turun dari angkot. Lalu saya melihat betapa ruwetnya jalan yang harus saya sebrangi karena kendaraan lalu lalang, belum lagi portal kereta dan jalanan yang medannya sangat tidak ramah pejalan kaki karena harus melewati rel, jalanan becek penuh pedagang, dan genangan air kotor yang entah mengandung berapa banyak kuman.

Namun pikiran saya kembali mengingat betapa effortnya saya berangkat kerja. “Mau kerja usaha cakep-cakep dan bersih dari rumah, wangi, pas dijalan dapet angkot yang nurunin sembarangan di rel dekat pasar.”

Emosi saya kembali naik. Tapi malaikat baik hati dengan penuh rasa syukur tiba-tiba menggumam, ” untung aja lagi gak hujan ya…” Typical netizen indonesia, yang kalau keadaan buruk, masih bisa merasa “beruntung…”. Dan untungnya, saya masih orang Indonesia.

((( Orang-orang lain gapapa tuh Neng))) kembali gema suara pak supir terdengar ketika Saya melintasi rel dengan hati-hati, kesal saya yang sedikit memudar dalam hitungan detik, tiba-tiba naik kembali ketika melintasi jalanan becek dan genangan air kotor. 

Orang-orang dan motor melintas, saya kembali menarik nafas. Khawatir kalau-kalau motor mereka menciprati celana cream saya yang saya cuci bersih dengan sepenuh hati, dan saya pakai hari ini. ” Masa iya, pagi-pagi udah kena cipratan..”

Tapi syukurlah itu tidak terjadi. Orang-orang itu bahkan membawa motornya pelan-pelan sekali, seolah tau kalau saya sedang gondok hati.

Saya akhirnya sampai di peron kereta dengan sepatu sendal yang tidak sekotor saya duga, dan celana yang aman dari cipratan. Kereta saya datang dan saya segera naik dengan santai. Tujuan saya berangkat lebih pagi, memang untuk menghindari tergesa-gesa. Dan Alhamdulillahnya, saya masih mendapat kursi penumpang, yang artinya : saya bisa tidur 40-50 menit sampai stasiun tujuan.

Tapi saya tidak bisa tidur, saya lebih memilih menuliskan pengalaman pagi ini di Blog saya yang gak seberapa ini.

Sepanjang perjalanan kereta saya berpikir, ” Apa iya, kalau orang lain gak papa, saya juga harus ikutan gak papa juga? “

” Apa iya, kalau standar orang lain berbeda dengan saya, saya juga harus mengikuti standar mereka ? “

Kalau tidak, apakah berarti saya pemilih?

Kalau iya, apakah berarti saya tidak punya prinsip?

Kata-kata Abang Angkot yang mengatakan: ” Tapi orang lain gak papa tuh neng “ saat saya tidak suka karena harus berjalan becek-becekan ke stasiun di saat ada opsi lain yang lebih nyaman membuat saya berpikir lagi.

” Apa yang bisa saya lakukan, agar esok hari, saya tidak merasakan hal seperti ini lagi? “

Sebab tidak mungkin saya mengontrol setiap abang angkot untuk berhenti di terminal, dan tidak mungkin juga saya mengontrol setiap penumpang untuk turun di terminal, ketika mereka justru lebih suka diturunkan ditempat yg tidak baik, kurang bagus, tidak nyaman dan becek.

Saya hanya bisa mengontrol diri saya sendiri. Mungkin butuh waktu untuk berkompromi. Jadi mulai besok, setiap akan naik angkot, saya akan menanyakan kepada pak supir, ” Ini berhenti ke terminal kan Pak? “

Setidaknya kalaupun pak supir tidak benar-benar membawa angkutannya ke terminal, batin saya sudah siap dan tidak merasa kesal karena harus melewati jalanan yang buruk.